Monyet Biru

     Ibu meninggal saat aku berumur tiga tahun. Kakakku Suzie, yang 16 tahun lebih tua dariku, merawatku selama ayah pergi. Ayah adalah penyanyi opera dan sering melakukan perjalanan. Belakangan, ayah menikah lagi, sedangkan Suzie pindah ke Kentucky, kota tempat semua kerabat ibu tinggal. Setelah kepindahannya, aku tidak lagi bertemu kakak tercintaku itu selama 20 tahun. 
     Saat berusia tanggung, aku merasa mempunyai "keluarga" atau seorang "malaikat" yang selalu menjagaku. Namun, itu cuman perasaanku, tidak lebih! Aku tumbuh dewasa, menikah, dan pindah ke California. Di California, aku menemukan sebuah gereja. Aku memang bukan tipe orang yang rajin ke gereja, tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk masuk ke gereja itu.
     Aku dan bu pendeta pun bersahabat. Suatu hari, seraya memegang sebuah kristal, ia memintaku untuk bercerita tentang kehidupanku. Seusai aku bercerita, ia tampak masuk ke kondisi trans (kondisi setengah sadar) dan berkata padaku dengan suara samar-samar, "Carilah monyet biru!"
     Aku tidak yakin atas pendengaranku, jadi aku bertanya, "Maksudmu?"
     Lalu ia mengulangi perkatannya, "Carilah monyet biru." Aku pun pulang, percaya bahwa pendeta itu "memaksudkan sesuatu". Walaupun begitu, apa yang dikatakan dan caranya mengatakan tampak mengesankan dan penuh kesungguhan hati.
     Aku pergi dari satu toko ke toko lainnya untuk mencari Monyet Biru yang dimaksud oleh pendeta tersebut. Akhirnya, aku menyerah. Alasannya, sebagian karena kehidupanku yang sibuk, sebagian karena pencarianku yang sia-sia, dan sebagian lagi karena aku tidak tahu apa yang harus dilakukan jika kelak aku berhasil menemukan Monyet Biru itu. Namun, aku tidak menyerah. Aku hanya berhenti mencari sejenak (begitulah niatku!).
     Bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba kakakku Suzie menelepon, dan sukacita saat mendengar segala hal tentang kehidupannya sejak kami berpisah amatlah besar. Tetap saja, hati kecilku berbisik, "Jangan berhenti mencari Monyet Biru."
     Dalam percakapan telepon, Suzie bercerita padaku bahwa salah seorang bibi kami membuat suatu pengakuan pada saat yang awalnya ia kira sebagai saat sakaratul mautnya. Si bibi ternyata salah perkiraan dam tetap hidup, namun kemudian menjadi murka karena telah mengungkapkan segalanya. Tidak masalah, pikirku. "Bagaimana juga, kebenaran akan terungkap," kataku selalu. "Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri!"
     Dalam pengakuan itu dinyatakan bahwa ibu kami mempunyai seorang anak selain kami berdua, yang lahir di luar perkawinan. Aku memutuskan untuk mencari anak dari ibu kami ini. Sekali lagi, aku melakukan pencarian, bukan untuk menemukan Monyet Biru, tapi saudara kandung kami yang hilang. Keluargaku berusaha membuatku ragu karena aku tidak mengantungi nama, jenis kelamin, dan tanggal lahir yang bisa membantuku. Biar bagaimanapun, aku memiliki iman.
     Awalnya, aku menyewa sebuah agen pencari orang hilang. Mereka tidak mampu membantuku dan berkata bahwa tanpa informasi apa pun, aku tak akan pernah menemukan kerabat ini. Jika tenaga profesional saja tidak sanggup menemukan orang ini, tak seorang pun bisa. Ahh, tapi aku memiliki iman!
     Pada prosesnya, seorang hakim yang baik mengizinkanku untuk membuka arsip kota Kentucky. Aku betul-betul tahu bahwa anak dari ibuku ini lahir di Kentucky. Butuh waktu tiga tahun untukku meneliti arsip-arsip ini. Itu belum apa-apa karena pencarianku akan iman saja menghabiskan waktu 20 tahun lamanya.
     Akhirnya perjuanganku membuahkan hasil. Aku menemukannya, seorang saudari bernama Mary, dua hari menjelang ulang tahunnya yang ke-60. Saat itu pula, kami memutuskan untuk berkumpul guna merayakan hari ulang tahunnya (pertama kali di mana ia bisa berbagi rasa dengan keluarga kandungnya). Sebagai tiga bersaudara: Suzie, Mary, dan aku bersatu kembali. Kami rasa ibu kami tengah tersenyum seakan berkata,"Akhirnya, segalanya berakhir dengan semestinya. Anak-anakku kini dipersatukan."
      Wajah Mary mirip sekali dengan ibu. Ia pun merasa seseorang tengah mengawasinya, dan bahwa ia harus mencari sesuatu, walau tidak tahu apa itu! Kemudian aku membantu Mary pindah dari Portland, Oregon, agar bisa lebih dekat dengan kami, keluarganya di East Coast.
     Saat mengepak barang, mataku tertuju pada sesuatu yang memebuatku menggigil dan menahan nafas. Benarkah penglihatanku? Itu lampu Monyet Biru. Aku berhasil menemukan Monyet Biru-ku!
     Mary berkata lampu itu bermakna istimewa baginya, tanpa tahu kenapa. Aku pun menceritakan kisahku, lalu kami saling berpelukan sambil menangis terharu.
     Mary masih memajang Monyet Biru itu di atas lemari supaya ia dapat langsung melihatnya saat bangun tidur. Ia mengaku, kapan pun ia merasa hidupnya hampa, ia tinggal menatap monyet biru itu guna menyadari bahwa Tuhan selalu hadir, setiap menit dalam kesehariannya.

Bonie Hartin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar