Apa Faith Masih Tinggal Di Sini?

     Kala itu sehari menjelang Malam Natal, dan aku tinggal bersama ketiga anakku (sekarang anakku sudah empat) di sebuah rumah kayu kecil di Southern California. Saat itu sudah larut malam sehingga semua anakku sudah tidur. Aku baru saja selesai bersih-besih rumah, dari atas ke bawah, dan aku merasa dikaruniai dengan sebuah keajaiban kecil saat memandang ke sekitar. Mungkin itulah kali pertama rumahku terlihat begitu bersih, teratur, dan indah sejak kami pindah beberapa bulan lalu.
     Saat berdiri mengagumi sentuhan kreatifku, aku mendengar ketukan di pintu. Karena lupa malam itu sudah larut, aku membuka pintu dengan penuh semangat, dan mendapati seorang pemuda ramah yang bertanya apa bisa bertemu dengan Faith. Ia mengaku sekedar mampir untuk melihat apa seorang teman lama bernama Faith masih tinggal di sini.
     Rasanya, aku sudah tahu tentang pesan itu lama sebelum ia memperkenalkan diri dan pergi diam-diam di malam pekat. Aku bahkan tidak mendengar suara mobil. Untuk apa dia berkeliling di lingkungan yang sepi pada tengah malam ini? Walau aku tidak tahu siapa sesungguhnya orang itu, tetapi aku tahu ia membawa sebuah pesan dari para malaikatku. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara menyikapi pesan itu. Aku hanya menegaskan diri bahwa Ya, aku benar-benar memiliki keyakinan.
     Aku menggendong anak-anak yang masih tidur ke dalam mobil yang dulu aku pinjam dari mertua, dan langsung menuju rumah mereka yang jaraknya 15 menit dari rumah kami. Aku tahu bahwa aku bisa beristirahat serta mendapatkan perawatan yang lembut dan penuh cinta, selain akan baik pula bagi anak-anak.
      Untuk sementara waktu, suamiku tinggal di sana sehingga kedatangan kami akan menjadi kejutan yang menyenangkan untuk setiap orang. Meskipun tetap tidur selama perjalanan, anak-anak akan kaget bercampur gembira saat bangun dan mendapati bahwa mereka sudah berada di rumah nenek dan ayah.
     Akan tetapi, kejutan terbesar datang keesokan harinya melalui telepon. Ternyata telepon itu dari seorang teman yang berusaha menghubungiku. Ia lega saat aku mengetahui aku berada di rumah mertua. Ia mengatakan rumahku terbakar habis dalam waktu kurang dari 15 menit. Api menjalar dengan begitu cepat dan kencang sehingga para tetangga di rumah kiri-kanan berusaha melompat dari jendela masing-masing untuk menyelamatkan diri. Api masih berkobar sehingga ia tidak tahu bahwa kami telah pergi malam itu. Pemadam kebakaran menyatakan bahwa jika kami masih berada di rumah saat itu, tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri.
     Aku memang kehilangan rumah, mobil (yang diparkir terlalu dekat dengan api), dan harta lainnya. Aku pun tidak punya asuransi untuk menutupi kerugian itu, tetapi orang-orang yang ku kasihi masih hidup, selamat, dan bahagia. Sedangkan cinta, kepedulian, dan bantuan luar biasa dari orang-orang yang bahkan tidak mengenal kami, tetapi membaca kejadian itu dalam surat kabar, benar-benar mengejutkanku.
     Jadi, apakah pemuda itu malaikat, atau sekadar bocah pengantar pesan? Nyata terlihat, para malaikat menjaga kami.
     Sejak itu, aku jadi mudah menangkap pesan dari para malaikat. Aku telah belajar mempercayai dan menyikapi pesan-pesan mereka. Karena kelak semua itu akan terwujud.


M'lxChel

Monyet Biru

     Ibu meninggal saat aku berumur tiga tahun. Kakakku Suzie, yang 16 tahun lebih tua dariku, merawatku selama ayah pergi. Ayah adalah penyanyi opera dan sering melakukan perjalanan. Belakangan, ayah menikah lagi, sedangkan Suzie pindah ke Kentucky, kota tempat semua kerabat ibu tinggal. Setelah kepindahannya, aku tidak lagi bertemu kakak tercintaku itu selama 20 tahun. 
     Saat berusia tanggung, aku merasa mempunyai "keluarga" atau seorang "malaikat" yang selalu menjagaku. Namun, itu cuman perasaanku, tidak lebih! Aku tumbuh dewasa, menikah, dan pindah ke California. Di California, aku menemukan sebuah gereja. Aku memang bukan tipe orang yang rajin ke gereja, tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk masuk ke gereja itu.
     Aku dan bu pendeta pun bersahabat. Suatu hari, seraya memegang sebuah kristal, ia memintaku untuk bercerita tentang kehidupanku. Seusai aku bercerita, ia tampak masuk ke kondisi trans (kondisi setengah sadar) dan berkata padaku dengan suara samar-samar, "Carilah monyet biru!"
     Aku tidak yakin atas pendengaranku, jadi aku bertanya, "Maksudmu?"
     Lalu ia mengulangi perkatannya, "Carilah monyet biru." Aku pun pulang, percaya bahwa pendeta itu "memaksudkan sesuatu". Walaupun begitu, apa yang dikatakan dan caranya mengatakan tampak mengesankan dan penuh kesungguhan hati.
     Aku pergi dari satu toko ke toko lainnya untuk mencari Monyet Biru yang dimaksud oleh pendeta tersebut. Akhirnya, aku menyerah. Alasannya, sebagian karena kehidupanku yang sibuk, sebagian karena pencarianku yang sia-sia, dan sebagian lagi karena aku tidak tahu apa yang harus dilakukan jika kelak aku berhasil menemukan Monyet Biru itu. Namun, aku tidak menyerah. Aku hanya berhenti mencari sejenak (begitulah niatku!).
     Bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba kakakku Suzie menelepon, dan sukacita saat mendengar segala hal tentang kehidupannya sejak kami berpisah amatlah besar. Tetap saja, hati kecilku berbisik, "Jangan berhenti mencari Monyet Biru."
     Dalam percakapan telepon, Suzie bercerita padaku bahwa salah seorang bibi kami membuat suatu pengakuan pada saat yang awalnya ia kira sebagai saat sakaratul mautnya. Si bibi ternyata salah perkiraan dam tetap hidup, namun kemudian menjadi murka karena telah mengungkapkan segalanya. Tidak masalah, pikirku. "Bagaimana juga, kebenaran akan terungkap," kataku selalu. "Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri!"
     Dalam pengakuan itu dinyatakan bahwa ibu kami mempunyai seorang anak selain kami berdua, yang lahir di luar perkawinan. Aku memutuskan untuk mencari anak dari ibu kami ini. Sekali lagi, aku melakukan pencarian, bukan untuk menemukan Monyet Biru, tapi saudara kandung kami yang hilang. Keluargaku berusaha membuatku ragu karena aku tidak mengantungi nama, jenis kelamin, dan tanggal lahir yang bisa membantuku. Biar bagaimanapun, aku memiliki iman.
     Awalnya, aku menyewa sebuah agen pencari orang hilang. Mereka tidak mampu membantuku dan berkata bahwa tanpa informasi apa pun, aku tak akan pernah menemukan kerabat ini. Jika tenaga profesional saja tidak sanggup menemukan orang ini, tak seorang pun bisa. Ahh, tapi aku memiliki iman!
     Pada prosesnya, seorang hakim yang baik mengizinkanku untuk membuka arsip kota Kentucky. Aku betul-betul tahu bahwa anak dari ibuku ini lahir di Kentucky. Butuh waktu tiga tahun untukku meneliti arsip-arsip ini. Itu belum apa-apa karena pencarianku akan iman saja menghabiskan waktu 20 tahun lamanya.
     Akhirnya perjuanganku membuahkan hasil. Aku menemukannya, seorang saudari bernama Mary, dua hari menjelang ulang tahunnya yang ke-60. Saat itu pula, kami memutuskan untuk berkumpul guna merayakan hari ulang tahunnya (pertama kali di mana ia bisa berbagi rasa dengan keluarga kandungnya). Sebagai tiga bersaudara: Suzie, Mary, dan aku bersatu kembali. Kami rasa ibu kami tengah tersenyum seakan berkata,"Akhirnya, segalanya berakhir dengan semestinya. Anak-anakku kini dipersatukan."
      Wajah Mary mirip sekali dengan ibu. Ia pun merasa seseorang tengah mengawasinya, dan bahwa ia harus mencari sesuatu, walau tidak tahu apa itu! Kemudian aku membantu Mary pindah dari Portland, Oregon, agar bisa lebih dekat dengan kami, keluarganya di East Coast.
     Saat mengepak barang, mataku tertuju pada sesuatu yang memebuatku menggigil dan menahan nafas. Benarkah penglihatanku? Itu lampu Monyet Biru. Aku berhasil menemukan Monyet Biru-ku!
     Mary berkata lampu itu bermakna istimewa baginya, tanpa tahu kenapa. Aku pun menceritakan kisahku, lalu kami saling berpelukan sambil menangis terharu.
     Mary masih memajang Monyet Biru itu di atas lemari supaya ia dapat langsung melihatnya saat bangun tidur. Ia mengaku, kapan pun ia merasa hidupnya hampa, ia tinggal menatap monyet biru itu guna menyadari bahwa Tuhan selalu hadir, setiap menit dalam kesehariannya.

Bonie Hartin

Lapisan Es Yang Retak

     Pada suatu hari yang dingin dan bersalju, saat aku berusia sepuluh tahun, aku bersama anjing kecilku, Pudgy, berjalan-jalan jauh. setibanya kami di Danau Ponka, kira-kira dua mil jauhnya dari rumahku di utara Oklahoma, Pudgy tercebur ke dalam sungai yang membeku dan langsung lenyap! ketika muncul kembali ke permukaan air, ia berusaha dengan putus asa untuk memanjat ke luar, tetapi lapisan es yang ditapakinya runtuh. Ketika ia memandang ke arahku, matanya tampak memelas minta tolong.
     Aku tahu lapisan es itu sangat tipis dan aku pun bisa jatuh ke dalamnya. walau begitu, aku harus menyelamatkan Pudgy dari air yang membekukan. Aku berbaring di atas es, sebagaimana diajarkan ayah padaku, dan bergerak satu inchi demi satu inchi mendekati anjing itu. Saat bergerak ke arah Pudgy, bunyi retakan di es terdengar kian kencang di sekitarku. Sampai kini aku masih ingat bunyi yang menakutkan itu. Aku begitu takut (rasanya seperti akan ikut tercebur dalam sekejap) namun cintaku pada Pudgy jauh melebihi ketakutanku. Aku terus bergerak tanpa memedulikan bahayanya. Jantungku terdengar bergemuruh di telinga.
     Tiba-tiba, aku merasakan suatu cengkraman yang hangat, lembut, dan menguatkan dari luar sisi kiri dan kanan kakiku, tepat di atas lutut. Aku merasa ringan dan seperti sedikit terangkat. Entah kenapa aku merasa aman. Jantungku tak lagi berdebar. Meski aku terus merayap maju, aku juga merasa seperti didorong perlahan mendekati Pudgy. Aku mulai menikmati bunyi retakan es yang kini seperti musik saja. Aku tak lagi peduli atas resiko tercebur ke dalam danau es itu. Aku sama sekali tak takut!
     Aku meraih salah satu kaki Pudgy  dan menariknya keluar dari air, lalu melontarkannya ke tepi danau. Sementara topangan lembut oleh tangan-tangan tak terlihat itu masih terasa, aku berbalik dan merayap pelan menuju tepian. Sesampaiku di tepian, sentuhan tadi pun lenyap, dan dengan serta merta aku merasa badanku kembali berat.
     Sewaktu aku menoleh ke titik tempat aku dan Pudgy berada, terlihat serpihan-serpihan es berukuran kecil mengambang pada sebuah lubang yang teramat besar. aku melepaskan mantel dan mengeringkan Pudgy dengan sisi luar mantel tersebut, lalu membungkusnya dengan sisi dalamnya agar anjing itu tetap hangan dan berhenti menggigil. Setibanya kami di rumah, ibu memberiku pelukan hangat dan heran melihatku tidak kedinginan walaupun berjalan-jalan jauh di luar rumah tanpa jaket.
     Saat aku menceritakan peristiwa itu pada ibu, beliau hanya berujar, "Malaikat pelindungmu telah datang menolongmu. Mereka selalu melakukan hal itu jika kau memiliki cinta dalam hatimu."


Robert E. Parrish, Ph. D.